Teori Resepsi Sastra Jauss
Analisis Teori Resepsi Jauus Terhadap Syair Karya Abdurahman Addahil
1. Teori respsi sastra jauss
Teori sastra respon pembaca sering juga dikenal dengan istilah teori resepsi sastra, teori ini memusatkan perhatian pada hubungan antar teks sastra dan pembaca, teori ini juga menjadi landasan konseptual kritik sastra atau penelitian sastra yang secara khusus ingin melihat relasi pembaca dan teks sastra, kritik sastra yang berlandaskan pada teori ini adalah kritik respon pembaca ( reader-response criticism ).[1] Kritik ini menyatakan bahwa “makna” karya sastra adalah interpretasi yang diciptakan atau dikonstruksikan/ dihasilkan oleh pembaca dan penulis sebagai subjek kolektif. Ia memberikan tindakan perhatiaan pada tindakan kreatif pembaca dalam memasukan makna kedalam teks sastra. Kritik ini menganggap bahwa orang yang berbeda repertoa/gudang bacaan seorang subjek pembaca akan menafsirkan teks karya sastra secara berbeda, tergantung dari presfektif mana ia melihat dan sejauh mana kadar repertoa pembaca dalam memahami teks karya sastra tersebut. Sebagai konsikuensi logis pluralitas dan kompleksitas pemberiaan makna terhadap interpretasi teks tadi merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karena itu teori ini menyatakan tidak ada pembacaan atau intrepretasi tunggal ataupun yang paling benar, akan tetapi yang paling optimal. Karya sastra itu ada jika ia dapat mempengaruhi pembaca, baik itu berupa tindakan-tindakan yang sifatnya aktif, maupun sebuah penilaiaan terhadap teks karya tersebut.
Jauss sebagai tokoh perumus dan pengembang teori resepsi sastra, dalam teorinya ia memusatkan perhatiaan bagaimana suatu karya diterima pada suatu masa tertentu berdasarkan horizon penerimaan tertentu atau erwartungshorisont atau horizon of expretion. Partisifasi pembacalah yang menghidupkan karya sastra. Sebuah karya baru menjadi peristiwa sastra, bila karya itu telah dilihat dengan adanya hubungan antara karya sastra lain. Suatu karya akan menyebabkan pembacanya memberikan reaksi tertentu berdasarkan textual strategy tertentu. Jadi bisa kita asumsikan bahwa penerimaan dapat dilihat sebagai perluasan dari aspek semiotic yang timbul dalam pengembangan dan perbaikan suatu system. dengan kata lain perubahan horizon penilaian juga bisa mengalami perubahan.
Penerimaan karya sastra dalam lapisan masyarakat bisa terjadi dengan berbagai macam kemungkinan. Reaksi atau parsitifasi aktifnya terjadi dalam bentuk adanya orang yang menciptakan karya sastra yang lain. Reaksi ini berbeda dari penerimaan pasif yang sifatnya hanya mengomentari, menyukai, memberi kritikan dan memberi masukan terhadap karya sastra tersebut. Memperhatikan bagaimana karya sastra diterima oleh seorang penulis, yang lebih kemudian dan bagaimana seterusnya ia bisa melanjutkan, memberikan kemungkinan lain; estetika dan presfektif peluang/kemungkinan penyusunan sejarah serta yang lain, yang menekankan pada aspek perkembangannya dalam hal ini karya sastra puisinya Abdurahman Adhil sebagai objek yang akan ditelaah.
Pendekatan Jauss menekankan aspek penerimaan dalam hal ini bagaimana seorang penulis kreatif dalam menerima karya sebelumnya, yang memungkinkan ia dapat menciptakan sesuatu yang baru darinya, atau bagaimana seorang bukan penulis kreatif menerima suatu karya sehingga karya itu bermakna tertentu bagi dirinya. Pada intinya memusatkan kepada keaktifan pembaca kepada kesanggupan mereka dalam menggunakan imajinasi dalam proses pembacaan. Jauss memahami karya sastra dapat terlihat dari pernyataan mereka. Pernyataan ini mungkin saja berupa komentar-komentar atau berupa karangan lain yang mentransformasikan atau mendemistifikasikan karangan yang pernah dibacanya. Pendekatan Jauss ini memberikan krangka bagi perkembangan sastra karena pendekatannya mengembangkan perhatiaan pada aktivitas pembaca, bukan sebatas kesan seperti yang di asumsikan oleh Iser.
2. Analisis Resefsi Sastra Jauss Terhadap Syairnya Abdurahman Adhahil.
Syair ini merupakan buah karya dari Abdurhaman “Si Elang Qurais” yang abadi nama juga maknanya dalam rasa rindu dan dendam pada dirinya. Ia hidup pada masa transisi ketika dinasti umayyah runtuh dan semua keturunannya jadi buronan aparatur abbasiah untuk dibentas habis sampai keakar-akarnya. Ketika berdirinya dinasti Abbasiah berkuasa, seluruh keturunan Umayah bani Hisyam diberantas habis tanpa ampun, tidak pandang bulu baik itu perempuan, lelaki, anak muda dsb. Ini semua akan menjadi salah satu latarbelakang kenapa syair ini dibuat oleh penyair yakni rasa dendam yang membara pada dinasti abbasiah.
Secara global pada syair ini, Abdurahman memafarkan sekaligus mencurahkan rasa rindu dan dendam (hanin) melalui emosi (a’tifah) dan imajinasinya yang tinggi. Rasa dendam yang membara pada dinasti abbasiah yang sudah tak terpendam, membuat keturunannya takut dibunuh, lari melarikan diri dan dibasmi, konekuensi logisnya Abdurahman sebagai keturunan Umayyah harus melarikan diri dan terbuang dari negeri asalnya, kendati menjadi khalifah di Andalus tetap saja ia rindu kepada kampung halamannya tempat dimana ia dilahirkan, dari sanalah melahirkan rasa rindu mendalam pada keluarga, sahabat-sahabatnya dan penduduknya disana yang penyair ini cintai.
Pada Paper ini peneliti akan mengutip syairnya beliau untuk di jadikan sampel analisis resepsi sastra Jauss. Berikut ini adalah teks syair karya Abdurahman,
ايها الميم أرض ءاقرأ # من بعض السلام لبعض
ءان جسمى كما تراه بأرض # وفؤادى وساكنيه بأرض
Artinya; Wahai orang orang yang mau ke kampungku/negaraku, sampaikanlah salamku untuk keluargaku, tubuhku seperti ada di andalus ,dan jantung hatiku ada di damaskus.
Jauss dalam teori resepsinya memperhatikan bagaimana karya sastra diterima oleh seorang pembaca dan memberi kemungkinan lain; estetika dan presfektif peluang/kemungkinan penyusunan sejarah serta yang lain, yang menekankan pada aspek perkembangannya dalam hal ini karya sastra puisinya Abdurahman Adhil yang sifatnya diakronis. Untuk itu kita perlu sedikitnya mengenal latarbelakang sejarah dan sekilas kehidupan penulis/penyair saat itu, ketika merefleksikan dan mencipkakan syair ini.
Abdurahman Adahil[2] adalah keturunan dinasti Umayah cucuk dari Hisyam. Setelah kejatuhannya dinasti Umayah pada tahun 750 M. dinasti Abbasiah pada pemerintahan As-Saffah memberikan intruksi yang kejam dan mengambil langkah untuk mengejar semua keturunan Umayah dan membunuh mereka tanpa ada konfromi. Abdurahman merupakan satu-satunya keturunan bani Umayah yang berhasil melarikan diri ke Andalus (Spanyol). Untuk mengelabui para kroni dan pendukung dinasti Abbasiah yakni Mansur Assafah sebagai kholifah saat itu, Abdurahman menyamar, ia melarikan diri lewat Maroko ikut bersama pasukan Barbar, ia meyebrang ke andalus. Di sana Abdurahman bersama pasukannya berhasil menundukan kota demi kota dan menaklukannya, ia mengalahkan gubernur Abbasiah yang ada di Andalus yakni Yusuf al Fihri dan menguasai Kordoba ibu kota Andalaus saat itu. Pada tahun 756 M, Abdurahman memproklamirkan diri sebagai kholifah/amir disana yang bergelar “Elang Qurais”.
Petikan syair diatas merupakan sebuah salam rindu yang mendalam dari penyair kepada orang-orang yang ingin pergi kekampungnya Abdurahman yaitu Damaskus/Barcelona. Rasa rindu yang dalam ini merupakan bentuk cinta penyair terhadap penduduk Damaskus yang ada pada kuasa dinasti Abbasiah, sebagai seorang amir Abdurahman merasa iba, haru, sakit, lara dan merintih pada kondisi yang menyebabkan tragedy yang menimpa bani Umayah, dan berbagai konflik permasalahan yang tidak kalah berat melandanya. Kalau melihat secara historis problematika antara bani Umayah dan Abasiah, lebih mengerucutnya kepada pembantaian besar-besaran bani Abbasiah pada masa dinasti As-Safah terhadap keluarga bani Umayah, Abdurahman Adhalil sangat dendam terhadap bani Abbasiah disatu sisi dan disisilain ia sangat merindukan penduduk Damaskus yang ada pada partiarki kekuasaan dinasti Abbasiah. Disamping itu ada suatu ketidakberdayaan penyair, sehingga tidak kuasa untuk berindak, mungkin karena problem keamanan, ia tidak bisa memberanikan diri untuk pergi ke Damaskus sehingga ia mengatakan tubuh ku ada di Andalus dan jantung hatiku ada di Damaskus.
Untuk lebih spesifik dalam menelaah karya syair Abdurahman Ad dahil ini, peneliti menggunkan teori respsinya Jauss sebagai pisau analisis pembedah karya terhadap teks karya puisisnya; Langsung saja kita menganalisis bait pertama:
ايها الميم أرض ءاقرأ # من بعض السلام لبعض
Artinya; Wahai orang orang yang mau ke kampungku/negaraku, sampaikanlah salamku untuk keluargaku,
Pada syair di atas merupakan fikroh istikbal ketika si penyair (Abdurahman Addahil) menulis karya syair puisi ini dengan penuh kerinduan kepada para penduduk negaranya, termasuk tempat kelahirannya yang sekarang dikuasai bani Abbasiah. Ia merasa terbuang dan asing dinegara baru yang ia taklukan bersama pengikut dan pasukannya. Salam disini bermakna rasa rindu mendalam, tidak sebatas kata tapi juga cinta kasih sayang kepada seluruh masyarakat yang ada dikampungnya atau negaranya tadi. Ia tidak bisa bebas, dilarang untuk pergi kemana-mana, dengan alasan keamanan, ia seperti ada dalam sangkar emas yang asing jauh dari orang-orang yang ia cintai (keluarganya/penduduk Damaskus) tidak merdeka secara hakiki, terutama untuk menduduki tanah airnya Damaskus, untuk bertemu bersama orang-orang yang ia cintai. Banyak factor yang mendasari itu semua, salah satunya disebabkan pemerintahan Abbasiah yang sangat membenci bangsa Umawiyah apalagi ia adalah satu-satunya keturunan bani Umayah yang berhasil lolos dan mendirikan Negara Muawiyah II diatas kekuasaan Abbasiah. Jauss sebagai bapak teori resefsi sastra, memberikan perhatiaan bagaimana suatu karya diterima pada suatu masa tertentu berdasarkan horizon penerimaan tertentu atau erwartungshorisont atau horizon of expretion.[3] Pada masa itu bukan hanya Abdurahman sebagai penulis tapi juga pembaca, terutama para pendukung Abdurahman Adhahil yang ada di Kordoba dan Barcelona dan mungkin sampai abad modern sekarang sampai pada kita yang membacanya.
Pada bait kedua syair beliau sebagai berikut;
ءان جسمى كما تراه بأرض # وفؤادى وساكنيه بأرض
Artinya; Sesungguhnya tubuhku seperti ada di Andalus ,dan jantung hatiku ada di Damaskus
Dari bait kedua syair Abdurahman diatas, merupakan sebuah bentuk penegasan dari syair yang pertama diatas, dimana peneliti melihat penegasan tersebut dideskripsikan melalui pelukisan istia’roh terhadap bentuk kerinduan penulis dari syairnya tersebut. Ketika melihat bentuk istia’rah kita dapat mengingat penyair jahili yang di juluki malik Adholil yakni Umrul Qais. Peneliti melihat adanya keterpengaruhan pada syair karya Abdurahman ini oleh Umrul Qais ketika pembuatan istia’rah yang lembut dan indah, Walaupun hidup dalam keadaan geografis yang keras penuh dengan intrik dan dendam tetapi tak mempengaruhi kata-katanya yang halus dan lembut dalam syairnya, terutama istirah/kata kiasan dan perumpamaan. Disamping itu ini merupakan sebuah puncak kilamks kerinduan yang tak tercurahkan dari rindu rasa dan rindu rupa terhadap para penduduk Damasus, keluarganya dan tanah airya. Juga dimana ia dilahirkan, kendati ada sikap pesimis atau ketidakberdayaan penyair terhadap kondisi sosial dan patriarki saat itu, akan tetapi Abdurahaman Adahil berhasil mempersatukan bangsa Umayah di Andalus Yang tercecer, pecah akibat berdirinya dinasti Abasiah, dan memberi harapan untuk tetap hidup kepada para penduduk yang ada di Damaskus bahwa dinasti Muawiyah dan keturunannya masih ada dan Berjaya.
Melihat dari makna totalitas karya syair diatas bahwa karya ini merupakan bentuk rasa rindu dan dendam (Hanin) yang melahirkan sebuah emosi dan daya imajinasi (A’tifah). Maka dari ungkapan tersebut munculah sebuah teori sastra Arab yang mengatakan bahwa;
الخيال وليد العاطفة
Artinya; Imajinasi terlahir dari sebuah emosi
Puisi ini disebut dengan syair bilgharbah (A’tifah) yang melahirkan daya khayal yang kuat. Imajinasi disini adalah sebuah gudang renungan ataupun segala benak permasalahan yang ada dalam benak penyair Abdurahman tadi, ketika ia membuat syair ini. Segala permasalahannya yang teramat sulit untuk di pecahkan ataupun pobrematika kehidupan penyair yang susah dan membuatnya resah selalu dihantui oleh rasa takut dan dendam kepada dinasti abasiaah seperti telah di uraikan diatas. Imajinasi penyair ini sangat kuat ketika memperumakan rasa rindunya kepada orangorang yang ia tak bisa jumpai yang ada dalam kekuasaan abasiah sehingga apabila ada seorang yang ingin pergi kampung halamannya ia menitipkan salam rindu kepada para penduduk disana yang ia cintai. Dari semua itu lahirlah emosi yang membara yang jelas tertanam dalam bait syairnya beliau. Emosi dan perasaan bercampur sangat kental dalam syair ini, dan merupakan sebuah replica kehidupan penyair yang tertuang dalam sebuah karya syair abadi, yang membuat syair ini abadi dikalangan pembaca, tak lekang dimakan zaman karena imajinasi yang sangat kuat/daya khayalnya yang tinggi, katanya lembut tapi maknanya dalam, isi pada syair ini kondisonal/situasional yakni ketika seseorang dilanda problem, keresahan, kegelisahan, banyak masalah yang diderita, terutama ketika ia sedang dilanda rindu dengan sang kekasih, keluarga, orang yang dicintai ataupun tanah airnya, karena jarak yang memisahkan, baik dalam lokus ataupun tempos tertentu. Ketika kita membaca dan mendalami, juga menghayati kandungan syair ini, kita pembaca akan menemukan sesuatu kesamaan rasa, kesamaan konflik, atau penokohannya dari si penyair itu sendiri, kesamaan rasa antara si penulis/penyair dengan pembaca, tergantung kepada repertoa si pembaca yang memberikan “makna” pemahaman terhadap karya sastra puisinya abdurahman diatas.
Dalam teori resepsi sastra jauss, interpretasi harus diciptakan atau dikonstruksikan/ dihasilkan oleh pembaca dan penulis sebagai subjek kolektif. Jauss[4] memberikan tindakan perhatiaan pada tindakan kreatif pembaca dalam memasukan makna kedalam teks sastra, yakni syair Abdurahman tadi yang menekankan pada emosi yang melahirkan imajinasi tadi tentang kerinduan yang mendalam pada penduduk dan tanah airnya yang dikuasai oleh dinasti Abbasiah. Kritik sastra ini menganggap bahwa orang yang berbeda repertoa/gudang bacaan seorang subjek pembaca akan menafsirkan teks karya sastra secara berbeda, tergantung presfektif dari mana ia melihat, dan sejauh sejauhmana repertoa pembaca dalam memahami teks karya sastra tersebut. Dendam dan Rasa rindu yang membara merupakan tema pada syair ini yang disebut Hanin.
DAFTAR PUTAKA
Taufik Ahmad Dardiri, 2010. Diskusi pada matakuliah tarikh adab Abbassi, Fak Adab Uin Sunan Kalijaga yogyakarta
Ali Al-Mudhar, Yunus dan H Bey, Arifin. 1983. Sejarah Kesustraan Arab, Surabaya: PT Bina Ilmu.
Al-Zauzini, Ahmad Ibn Al-Husain. Syarh Al-Muallaqot Al-Sabng’u. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Bunyamin Bahrum. 2003. Sastra Arab Jahili (Pra Islam), Terjemahan; Al-Adab Al-Arabiyah Al-Jahiliyah. Yogyakarta: Abad Perss.
H. Wargadinata, Wildana dan Fitriani, Laily. 2008. Sastra Arab dan Lintas Budaya. Malang: UIN Malang Press.
Muzakki, Ahmad. 2006. Kesusastraan Arab: Pengantar Teori dan Terapan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Idris Marjoko. 2007. Ilmu Balagah Antara Al-Bayan dan Al-Badi’, Yogyakarta: Teras
M. Atar semi, 1993. Metode Penelitiaan Sastra. Bandung; penerbit angsara.
Ratna, Nyoman Khuta, 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitiaan Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suroso dkk. 2009, Kritik sastra, teori metodologi dan aplikasi; Yogyakarta: Elmater Publishing.
Swardi Endra Swara, Metode penelitiaan sastra.
Catatan;
[1]Anderson, Benedict O.G 1999. “Komunitas-komunitas Imajiner”, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 1995), hal. 195
[2] Kata adahil merupakan sebuah gelar yang dinisbatkan kepada abdurahman keturunan muawiah merupakan cucuk dari hisyam yang berhasil lolos dan melarikan diri dari pembunuhan/ pembataiaan yang dilakukan pemerintahan abbasiah, ia mendirikan Negara didalam Negara untuk itu kata adhahil dinisbatkan kepadanya ykni mendirikan Negara dinasti muawiyah baru disana setelah mengalahkan gubernnur abbasiah dan pasukannya disana.
[3] Farunk, sosiologi sastra, hal 250
[4] Teori Sastra dari Marxis sampai rasis hal. 182
Comments
Tri Nugroho Adi
Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Jenderal Soedirman
ABSTRAK
Artikel ini menyajikan uraian seputar metode penelitian resepsi, sebagai bagian dari bermacam model penelitian komunikasi kualitatif. Analisis resepsi dapat dikatakan menarik sebab ia mengambil teori dari ilmu sastra dan metodologinya dari ilmu-ilmu sosial. Ilmu sastra memberi kontribusi terhadap konsep yang mendukung komunikasi massa sebagai praktek produksi budaya dan penyebaran makna dalam konteks sosial.Sementara dari ilmu sosial, diadopsi dalam hal penggunaan model tertentu dari penyelidikan empiris ke dalam proses interaksi antara pesan media massa dan audiens mereka. Itulah inti dari analisis resepsi, yang bisa dikatakan sebagai kemunculan dari sebuah format baru dari audiens riset pada sekitar tahun 1980an dan menghadirkan suatu artikulasi yang tegas pada kisaran kualitatif. Satu premis utama analisis resepsi bahwa untuk menghasilkan kajian khalayak yang meliputi penggunaan dan dampak maka sejatinya harus melalui terlebih dahulu kajian yang memadukan antara analisis isi dan analisis khalayaknya sekaligus. Analisis resepsi berasumsi bahwa teks dan penerima pesan itu adalah bagian dari unsur-unsur satu korpus kajian yang komplementer di mana kedua-duanya merupakan aspek sosial komunikasi yang diskursif.
_________
Kata Kunci: analisis resepsi, praktek produksi budaya
A. Sejarah Singkat Analisis Resepsi
Dalam tradisi studi audience, setidaknya pernah berkembang beberapa varian di antarannya disebut secara berurutan berdasar perjalanan sejarah lahirnya: effect research, uses and gratification research, literary criticism, cultural studies, reception analysis (Jensen&Rosengen,1995:174). Reception analysis bisa dikatakan sebagai perspektif baru dalam aspek wacana dan sosial dari teori komunikasi (Jensen,1999:135). Sebagai respon terhadap tradisi scientific dalam ilmu sosial, reception analysismenandaskan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak media, apakah itu kuantitatif atau kualitatif, seharusnya didasarkan pada teori representasi dan wacana serta tidak sekedar menggunakan operasionalisasi seperti penggunaan skala dan kategori semantik. Sebaliknya, sebagai respon terhadap studi teks humansitik, reception analysismenyarankan baik audience maupun konteks komunikasi massa perlu dilihat sebagai suatu spesifik sosial tersendiri dan menjadi objek analisis empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan (sosial dan perspektif diskursif) itulah yang kemudian melahirkan konsep produksi sosial terhadap makna (the social production of meaning). Analisis resepsi kemudian menjadi pendekatan tersendiri yang mencoba mengkaji secara mendalam bagaimana proses-proses aktual melalui mana wacana media diasimilasikan dengan berbagai wacana dan praktik kultural audiensnya (Jensen, 1999:137).
Pemanfaatan teori reception analysis sebagai pendukung dalam kajian terhadap khalayak sesungguhnya hendak menempatkan khalayak tidak semata pasif namun dilihat sebagai agen kultural (cultural agent) yang memiliki kuasa tersendiri dalam hal menghasilkan makna dari berbagai wacana yang ditawarkan media. Makna yang diusung media lalu bisa bersifat terbuka atau polysemic dan bahkan bisa ditanggapi secara oposisif oleh khalayak (Fiske, 1987).
Adalah David Morley yang pada tahun 1980 mempublikasikan Studi of the Nationawide Audience kemudian dikenal sebagai pakar yang mempraktikkan analisis resepsi secara mendalam. Pertanyaan pokok studi Morley tersebut adalah mengetahui bagaimana individu menginterpretasikan suatu muatan program acara televisi dilihat dalam kaitannya dengan latar belakang sosio kultural pemirsanya.
Dalam tulisannya yang dimuat dalam Cultural Transformation : The Politics of Resistence(1983,dalam Marris dan Tornham 1999:474,475), Morley mengemukakan tiga posisi hipotetis di dalam mana pembaca teks (program acara) kemungkinan mengadopsi:
1.Dominant (atau ‘hegemonic’) reading : pembaca sejalan dengan kode-kode program (yang didalamnya terkandung nilai-nilai,sikap,keyakinan dan asumsi) dan secara penuh menerima makna yang disodorkan dan dikehendaki oleh si pembuat program.
2.Negotiated reading : pembaca dalam batas-batas tertentu sejalan dengan kode-kode program dan pada dasarnya menerima makna yang disodorkan oleh si pembuat program namun memodifikasikannya sedemikian rupa sehingga mencerminkan posisi dan minat-minat pribadinya.
3.Oppositional (‘counter hegemonic’) reading: pembaca tidak sejalan dengan kode-kode program dan menolak makna atau pembacaan yang disodorkan, dan kemudian menentukan frame alternatif sendiri di dalam menginterpretasikan pesan/program.
Kajian resepsi sebagaimana dilakukan oleh Morley di atas melandaskan diri pada pemikiran Stuart Hall, sekarang adalah Profesor Sosiologi di Open University, dan merupakan tokoh utama dalam sejarah kebangkitan politik Kiri di Inggris di tahun 1960-an dan 1970-an. Hall sendiri mengikuti gagasan Althusser dan berpendapat bahwa media muncul sebagai refleksi atas realitas di mana media itu terlebih dahulu mengkonstruksikannya.
B. Metodologi Resepsi
Analisis resepsi merupakan bagian khusus dari studi khalayak yang mencoba mengkaji secara mendalam proses aktual di mana wacana media diasimilasikan melalui praktek wacana dan budaya khalayaknya. Ada tiga elemen pokok dalam metodologi resepsi yang secara eksplisit bisa disebut sebagai “ the collection, analysis, and interpretation of reception data “ ( Jensen, 1999: 139) . Ketiga elemen tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, mengumpulkan data dari khalayak. Data bisa diperoleh melalui wawancara mendalam (baik individual maupun kelompok). Dalam uraian ini lebih ditekankan perolehan data melalui wawancara kelompok yang akrab disebut focus group interview, sebagaimana pernah dilakukan oleh Jensen (1999). Perlu ditekankan bahwa dalam analisis resepsi, perhatian utama dalam wawancara mendalam secara kelompok tetap harus berpegang pada “wacana yang berkembang setelah diantarai media di kalangan pemirsa”, artinya, wawancara berlangsug untuk menggali bagaimana sebuah isi pesan media tertentu menstimulasi wacana yang berkembang dalam diri khalayaknya.
Kedua, menganalisis hasil atau temuan dari wawancara atau rekaman proses jalannyafocus group discussions (FGD). Setelah wawancara dan FGD sebagaimana langkah pertama di atas dilakukan maka, tahap berikutnya peneliti akan mengkaji catatan wawancara tersebut yang berupa ratusan transkrip wawancara yang di dalamnya kemudian bisa disarikan berbagai kategori pernyaatan, pertanyaan, komentar dsb. dari peserta diskusi. Dalam tahap ini peneliti bisa memanfaatkan metode analisis wacana sebagaimana lazimnya dipakai dalam studi literer untuk menelaah makna-makna intersubjektif dan menginterpretasikan makna yang tersirat dibalik pola ketidaksepakatan pendapat di antara peserta dan sebagainya yang mungkin muncul dalam diskusi. Dalam tahap ini, peneliti kemudian tidak sekedar melakukan kodifikasi dari seberapa pendapat yang sejalan atau yang tidak sejalan melainkan lebih merekonstruksi proses terjadinya wacana dominan dan sebaliknya, dilihat dari berbagai latar belakang sosio kultural peserta diskusi.
Ketiga, tahap ini peneliti melakukan interpretasi terhadap pengalaman bermedia dari khalayaknya. Perlu dicatat bahwa dalam tahap ini sebenarnya seorang peneliti tidak sekedar mencocokkan model pembacaan sebagaimana yang telah dirumuskan dalam acuan teoritis melainkan justru mengelaborasikan dengan temuan yang sesungguhnya terjadi di lapangan sehingga memunculkan model atau pola penerimaan yang riil dan lahir dari konteks penelitian sesungguhnya.
C. Langkah Penelitian dan Contoh Kasus
Untuk memberi ilustrasi mengenai langkah-langkah penelitian dengan metode resepsi bisa disimak contoh-contoh berikut: Jensen (1988 ) melakukan penelitian tentang resepsi khalayak pemirsa televisi di Denmark terhadap acara topik dan isu yang dibawakan dalam tayangan berita. Setelah menentukan satu mata acara berita yang menjadi fokus kajian maka peneliti melakukan analisis isi terhadap tayangan berita televisi tersebut dan melakukan kodifikasi terhadap tema-tema sentral yang menjadi isu pemberitaan selama kurun waktu tertentu. Tahap selanjutnya, peneliti memilih secara acak penonton televisi yang dibedakan menurut umur, jenis kelamin dan berbagai karakter sosioekonomik yang beragam serta berasal dari berbagai wilayah yang berbeda.
Peneliti kemudian menentukan terdapat 33 informan yang berbeda karakteristiknya dan siap untuk diwawancarai secara mendalam. Wawancara dilaksanakan secara semi terstruktur, terfokus pada 10 berita utama yang disajikan dalam berita televisi tersebut. Dalam wawancara, peneliti menggali sejauh mana tema pokok dalam masing-masing berita tersebut dipahami dan dimaknai yang tak lain adalah mencoba bagaimana pemirsa melakukan resepsi sebuah pesan media. Hasil wawancara yang berupa rekaman transkrip tersebut kemudian dianalisis dan dikategorikan menjadi beberapa ‘themes’. Simpulan dalam penelitian tersebut, ternyata bahwa telah terjadi perbedaan signifikan antara ‘themes’ yang dikedepankan oleh jurnalis dengan yang ditangkap oleh pemirsa. Lebih jauh, kajian Jensen (1988) menguatkan perspektif baru dalam melihat khalayak sabagai agent aktif yang memiliki kuasa tersendiri di dalam menciptakan wacana yang berkembang dalam masyarakat, betatapun kuat dan dominannya media di dalam menanamkam wacana di dalam masyarakat.
Contoh penelitian lain yang salah satu metodenya menggunakan analisis resepsi juga dilakukan oleh Adi (2008). Penelitian berjudul IDENTITAS KULTURAL DAN TELEVISI LOKAL(Studi Tentang Konstruksi dan Representasi Identitas Kultural dalam Tayangan Banyumas TV) tersebut mencoba menggali bagaimana resepsi (penerimaan) pemirsa terhadap tayangan-tayangan yang merepresentasikan identitas kultural mereka. Berbeda dengan penelitian Jensen (1988), penelitian Adi (2008) menggunakan metode diskusi kelompok terfokus ( FGD) dalam menggali resepsi khalayak.
Tahap pertama penelitian dilakukan melalui analisis isi kualiatif untuk menentukan ‘themes’ dominan yang ditawarkan program acara. Kemudian tahap selanjutnya peneliti menyelenggarkan FGD yang diikuti empat kelompok : (a) kelompok akademisi (lima orang partisipan), (b) kelompok mahasiswa ( lima orang partisipan), (c) kelompok pekerja (enam orang partisipan), (d) kelompok pegawai negeri (enam orang partisipan). Prosedur FGD dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagaimana disarankan oleh Pawito (2007) sebagai berikut:
(a) Penentuan topik penelitian.
(b) Perumusan panduan interview yang bersifat longgar agar jalannya diskusi bisa terarah.
(c) Penyediaan paket pesan (rekaman tayangan acara televisi) sebaai bahan diskusi.
(d) Penunjukkan moderator yang akan menjadi fasilitator dan mengajukan pertanyaan dalam diskusi.
(e) Pengorganisasian kelompok dengan memerhatikan jumlah dan karakter kelompok sesuai dengan tujuan penelitian; jumlah dan nama-nama peserta yang akan diundang dalam masing-masing kelompok; menentukan waktu dan tempat diskusi; merencanakan intesif yang mungkin akan diberikan kepada partisipan jika memang dipandang perlu.
(f) Menghadirkan partisipan untuk masing-masing kelompok pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Kegiatan FGD untuk masing-masing kelompok bisa mengambil waktu dan tempat yang berbeda.
(g) Pencatatan jalannya diskusi ( menggunakan alat perekam baik audio maupun audiovisual) setelah paket pesan disampaikan kepada peserta diskusi. Waktu yang digunakan untuk penayangan paket pesan diusahakan tidak lebih dari 30 menit, kemudian diskusi dan interview bisa berlangsung selama sekitar satu jam.
(h) Penyusunan transkrip hasil diskusi. Dalam transkrip disertakan catatan tentang informasi nonverbal yang muncul selama diskusi berlangsung.
(i) Analisis terhadap data yang telah disusun dalam transkrip. Analisis bersifat kualitatif dengan demikian memerlukan triangulasi utamanya triangulasi teori dan data.
(j) Penarikan simpulan berdasar pada pertanyaan dan tujuan penelitian.
Data-data yang digali dalam penelitian ini menunjukkan adanya pola-pola pemaknaan kultural yang beragam dalam diri pemirsa terhadap teks, di mana latar belakang kultural yang mulivaset dalam diri seseorang memiliki kecederungan yang kuat memengaruhi pemaknaan terhadap teks tersebut. Bila dikaitkan dengan beberapa kategori konsep identitas kultural yang menjadi perhatian penelitian tersebut maka bisa dilihat bagaimana pemirsa kemudian mendefinisikan teks itu menurut perspektif kultural mereka sendiri. Temuan ini mengingatkan kita pada teori respon pembaca yang dikemukakan oleh Stanley Fish (dalam Littlejohn,2002:190). Menurut Fish makna itu terletak pada sisi pembaca dengan mekanisme yang kemudian dikenal sebagai teori respon pembaca. Teks menstimulasi pembaca aktif, namun dalam diri pembaca tersebut sudah terkandung makna, dan penafsiran lalu tidak bergantung pada teksnya. Dalam penafsiran, individu si pembaca itu tidaklah terlepas dari konteks komunitasnya. Menurut Fish pembaca adalah bagian dari sebuah komunitas penafsir, suatu kelompok yang saling berinteraksi satu dengan lainnya yang kemudian mengkonstruksikan realitas serta makna-makna bersama dan menjadikannya dasar di dalam pembacaan mereka. Dalam model penafsiran seperti ini maka tidak ada makna objektif tunggal dalam sebuah teks. Juga tidak ada yang disebut penafsiran yang benar. Segala sesuatu bergantung pada si pembaca. Teori respon pembaca inilah yang kemudian sangat berpengaruh dalam studi media.
Hasil penelitian tersebut juga menguatkan teori resepsi dimana dikenal tiga aktivitas dalam diri pemirsa yang berlangsung secara simultan yakni membaca, memahami dan menafsirkan. Pembacaan atau ‘reading’ berarti ada sebuah teks yang terbentuk dari simbol-simbol visual dan yang lainnya di mana dari teks tersebut terbentuk suatu makna tertentu; di sini pembacalah yang memiliki kemampuan di dalam mengonkonstruksi makna dari teks tersebut; dan disitulah terjadi interaksi antara teks dengan pembacanya. Pembaca menerima simbol-simbol yang ada di dalam teks dan ketika pembaca menilainya sebagai ‘masuk akal’ baginya maka mereka akan memahaminya dengan cara menempatkannya di dalam semacam ‘frame’. Pembaca kemudian menginterpretasikansimbol-simbol tersebut dengan cara mengaitkannya dengan apa yang tengah berlangsung dengan apa yang sekiranya menjadi maksud si pembuat teks serta apa yang kira-kira akan disampaikannya dengan teks itu (extratextual points of reference) (Real 1996:103-104). D.
D.Catatan Penutup
Mengkaji khalayak media dengan menggunakan analisis resepsi hingga saat ini masih belum banyak dilakukan. Beberapa implikasi yang perlu diperhatikan dalam melakukan penelitian resepsi di masa depan adalah perlunya memadukan antara metode penggalian data khalayak dengan menggunakan wawancara mendalam dan FGD sekaligus. Tidak begitu disarankan untuk hanya menekankan pendekatan wawancara mendalam individual karena sifat dari kajian resepsi tidak lain adalah melihat bagaimana wacana yang timbul sebagai bagian dari sebuah pertemuan antara berbagai individu yang berbeda karakterisktik ketika secara bersama-sama diminta untuk memberi respon terhadap stimulan pesan media tertentu. Untuk itu FGD diibaratkan sebuah laboratorium mini gambaran masyarakat yang beragam ketika mengkonstruksi makna dari wacana media yang berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Tri Nugroho. IDENTITAS KULTURAL DAN TELEVISI LOKAL (Studi Tentang Konstruksi dan Representasi Identitas Kultural dalam Tayangan Banyumas TV). Thesis Magister Pascasrjana Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2008. Tidak diterbitkan.
Fiske, John. Television Culture.London: Rotledge, 1997.
Jensen, Klaus Bruhn, “ News as Social Resources,” Dalam European Journal of Communication 3. 3 : 275-301, 1988
___________________. “Media Audiences. Reception Analysis; mass communication as the social production of meaning“. Dalam Klaus Bruhn Jensen & Nicholas W Jankowski. ( eds.). A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research.London : Routledge,1999.
Jensen, Klaus Bruhn & Rosengen,Karl Erik. “Five Tradition in Search of Audience”.Dalam Oliver Boyd-Barret & Chris Newbold (ed.). Approaches to Media A Reader.New York :Oxford University Press Inc, 1995.
Littlejohn, Stephen W. Theories of Human Communication.(7ed.)USA: Wadworth, 2002.
Marris, Paul & Sue Thornham. Media Studies A Reader 2ed. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd., 1996.
Morley, David. Family Television: Cultural Power and Domestic Leisure.London: A Comedia Book, 1986.
Pawito . Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : LkiS, 2007.
Real, Michael. R. Exploring Media Culture : A Guide. USA : Sage Publication, 1996.
DAFTAR PUSTAKA
Eco, umberto, 1979, The Pole of The Reader : Exploration in the Semiotics of Texts. Bloomington : Bloomington University Press.
Hollad, Norman, 1975, Reader Reading, New Haven, New Press, Isa, Wolfgang, 1974,The Impliet Reader : Patterns of Communication in Prose Fiction From Bunyan to Backett, London : The Johns Hopkins University Press. Iser, Wolfgang, 1978, The Act of Reading. Theory of Aesthetic Response. Baltimore : Johns Hopkins University Press.
Jauss, Hans Roberts, 1978, “Litery History as Challenge to Literary Theory”. Dalam Cohen, Ralph (ed), New Direction in Literary History, London : Routledge. Jauss, Hans, Roberts, 1980, aesthetic Experience of Literary Hermenuetics, Minneapolis : Minneapolis University Press.
Umar Junus, 1985, Resepsi Teori : Sebuah Pengantar, Jakarta : Gramedia.
TEORI RESEPSI SASTRA
02FEB20112 Komentar
by dianarera in Sastra
Dian Nuzulia Ar.
I. Pendahuluan
Kritik sastra memiliki peran yang besar dalam perkembangan teori sastra dan salah satu teori tersebut adalah resepsi sastra. Oleh karena itu, resepsi sastra adalah bagian yang tak terpisahkan dari kritik sastra. Kritik sastra sendiri berasal dari bahasa Yunani krites yang berarti hakim. Kata benda krites berasal dari kata kerja krinein yang berarti menghakimi. Kata krinein merupakan pangkal dari kata benda kriterion yang berarti dasar penghakiman. Lalu timbul katakritikos yang berarti hakim karya sastra (Suyitno, 2009:1).
Dalam kritik sastra dikenal beberapa pendekatan-pendekatan untuk melakukan penelitian karya sastra. Pendekatan-pendekatan itu adalah pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, pendekatan historis, pendekatan antropologis, pendekatan ekspresif, pendekatan mimesis, pendekatan pragmatis dan pendekatan objektif. Selanjutnya, Ratna (2008:71) mengemukakan bahwa pendekatan pragmatislah yang memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan ini berhubungan dengan salah satu teori modern yang mengalami perkembangan yang sangat pesat, yaitu teori resepsi sastra.
Menurut Junus (1985:1), resepsi sastra dimaksudkan bagaimana ‘pembaca’ memberikan makna terbadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin bersifat pasif.
Bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya itu, atau dapat melihat hakikat estetika, yang ada di dalamnya, atau mungkin juga bersifat aktif yaitu bagaimana ia merealisasikannya. Karena itu, pengertian resepsi sastra mempunyai lapanganyang luas, dengan berbagai kemungkinan penggunaan.
Dengan resepsi sastra terjadi suatu perubahan (besar) dalam penelitian sastra, yang berbeda dari kecenderungan yang biasa selama ini. Selama ini tekanan diberikan kepada teks, dan untuk kepentingan teks ini, biasanya untuk pemahaman ‘seorang peneliti’ pergi kepada penulis (teks) (Junus, 1985:1).
Masalah yang dibahas dalam tulisan ini, yaitu apakah resepsi sastra itu dan apakah dasar-dasar teori resepsi sastra serta bagaimanakah penerapan teori resepsi sastra. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan dasar-dasar teori resepsi sastra serta penerapannya.
II. Teori Resepsi Sastra
A. Pengertian Resepsi Sastra
Ratna (2008:165) mengemukakan secara definitif resepsi sastra berasal dari katarecipere (Latin), reception (Inggris) yang berarti sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo (2007:206) bahwa resepsi sastra adalah estetika (ilmu keindahan) yang mengacu kepada tanggapan atau resepsi pembaca karya sastra dari waktu ke waktu.
Seltanjutnya, Endaswara (2008:118) mengemukakan bahwa resepsi berarti menerima atau penikmatan karya sastra oleh pembaca. Resepsi merupakan aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak kepada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Dalam meresepsi sebuah karya sastra bukan hanya makna tunggal, tetapi memiliki makna lain yang akan memperkaya karya sastra itu.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa resepsi sastra merupakan penelitian yang menfokuskan perhatian kepada pembaca, yaitu bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra, sehingga memberikan reaksi terhadap teks tersebut.
B. Dasar-Dasar Teori Resepsi Sastra
Resepsi sastra dapat melahirkan tanggapan, reaksi atau respon terhadap sebuah karya sastra dikemukakan oleh pembaca sejak dulu hingga sekarang akan berbeda-beda antara pembaca yang satu dengan yang lain. Begitu juga dengan tiap periode berbeda dengan periode lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan (verwachtingshorizon atau horizon of expectation). Cakrawala harapan ini adalah harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 2007:207).
Cakrawala ini sebagai konsep awal yang dimiliki pembaca terhadap karya sastra ketika ia membaca sebuah karya sastra. Harapan itu adalah karya sastra yang dibacanya sejalan dengan konsep tenatang sastra yang dimiliki pembaca. Oleh karena itu, konsep sastra antara seorang pembaca dengan pembaca lain tentu akan berbeda-beda. Hal ini dikarenakan cakrawala harapan seseorang itu ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya sastra.
Teori resepsi dikembangkan oleh RT Segers (1978:36) dalam bukunya Receptie Esthetika (1978) Buku Receptie Esthetika diawali dengan dasar-dasar resepsi sastra ditentukan ada tiga dasar faktor cakrawala harapan yang dibangun pembaca:
norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca;
pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya;
pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik secara horison “sempit” dari harapan-harapan sastra maupun dalam horison “luas” dari pengetahuannya tentang kehidupan.
Selanjutnya, Pradopo (2007:208) mengemukakan bahwa dalam karya sastra ada tempat-tempat terbuka (open plek) yang “mengharuskan” para pembaca mengisinya. Hal ini berhubungan dengan sifat karya sastra yang multi tafsir. Oleh karena itu, tugas pembacalah untuk memberi tanggapan estetik dalam mengisi kekosongan dalam teks tersebut. Pengisian tempat terbuka ini dilakukan melalui
proses konkretisasi (hasil pembacaan) dari pembaca. Jika pembaca memiliki pengetahuan yang luas tentang kehidupan, pastilah konkretisasinya akan “sempurna” dalam mengisi “tempat-tempat terbuka (open plak) dengan baik.
C. Pembaca
Pembaca yang dimaksudkan dalam resepsi terbagi dua, yaitu pembaca biasa dan pembaca ideal. Pembicara biasa adalah pembaca dalam arti sebenarnya, yang membaca karya sastra sebagai karya sastra, bukan sebagai bahan penelitian. Pembaca ideal adalah pembaca yang membaca karya sastra sebagai bahan penelitian. Pembaca ini membaca karya sastra dengan tujuan tertentu (Junus, 1985:52).
Luxemburg (1982:77) menyatakan pembaca “di dalam” teks atau pembaca implisit dan pembaca “di luar teks” atau pembaca eksplisit. Pembaca implisit atau pembaca yang sebetulnya disapa oleh pengarang ialah gambaran mengenai pembaca yang merupakan sasaran si pengarang dan yang terwujud oleh segala petunjuk yang kita dapat dalam teks. Pembaca eksplisit adalah pembaca kepada siapa suatu teks diucapkan.
Dalam meneliti karya sastra berdasarkan metode estetika resepsi, sesungguhnya dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu cara sinkronik dan diakronik. Sinkronik adalah penelitian resepsi terhadap sebuah karya sastra dalam satu masa atau satu periode sastra, sedangkan diakronik adalah penelitian terhadap sebuah karya sastra dalam beberapa masa atau beberapa periode sastra, dari masa karya sastra terbit, kemudian resepsi periode selanjutnya hingga sekarang. Dengan kata lain, sinkronik meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca sezaman atau satu periode sastra. Cara kedua lebih rumit karena melibatkan tanggapan pembaca sepanjang sejarah atau beberapa periode sastra (Ratna, 2008:167).
Penggolongan suatu karya sastra ke dalam suatu periode tertentu, tentu harus didasarkan oleh ciri-ciri tertentu. Setiap periode/angkatan sastra mempunyai ciri yang berbeda. Ciri khas sastra setiap periode / angkatan merupakan gambaran dari
masyarakatnya sebab sastra merupakan hasil dari masyarakatnya serta ciri-ciri unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra itu sendiri. Berdasarkan pendapat itu, terjadilah penggolongan sastra atau periodisasi sastra seperti berikut.
1. Periode 1920-an atau Masa Balai Pustaka
2. Periode 1930-an atau Masa Pujangga Baru
3. Periode 1945-an atau Masa Angkatan 45
4. Periode 1966-an atau Masa Angkatan 66
5. Periode 1970-an atau Masa Sastra Kontemporer
6. Periode 2000-an atau Masa Angkatan 2000.
Sabtu, 27 Oktober 2012
Kamis, 05 Juli 2012
Sejarah Singkat Teater Barat
Sejarah Singkat Teater Barat
Asal Mula Teater
Waktu dan tempat pertunjukan teater yang pertama kali dimulai tidak diketahui. Adapun yang dapat diketahui hanyalah teori tentang asal mulanya. Di antaranya teori tentang asal mula teater adalah sebagai berikut.
Berasal dari upacara agama primitif. Unsur cerita ditambahkanpada upacara semacam itu yang akhirnya berkembang menjadipertunjukan teater. Meskipun upacara agama telah lamaditinggalkan, tapi teater ini hidup terus hingga sekarang. Berasal dari nyanyian untuk menghormati seorang pahlawan dikuburannya. Dalam acara ini seseorang mengisahkan riwayathidup sang pahlawan yang lama kelamaan diperagakan dalambentuk teater. Berasal dari kegemaran manusia mendengarkan cerita. Cerita itukemudian juga dibuat dalam bentuk teater (kisah perburuan,kepahlawanan, perang, dan lain sebagainya).Rendra dalam Seni Drama Untuk Remaja (1993), menyebutkanbahwa naskah teater tertua di dunia yang pernah ditemukan ditulisseorang pendeta Mesir, I Kher-nefert, di zaman peradaban Mesir Kunokira-kira 2000 tahun sebelum tarikh Masehi. Pada zaman itu peradabanMesir Kuno sudah maju. Mereka sudah bisa membuat piramida, sudahmengerti irigasi, sudah bisa membuat kalender, sudah mengenal ilmubedah, dan juga sudah mengenal tulis menulis.
I Kher-nefert menulis naskah tersebut untuk sebuah pertunjukan teater
ritual di kota Abydos, sehingga terkenal sebagai Naskah Abydos yang
Langganan:
Komentar (Atom)